Senin, 04 Februari 2013

Sekolah Mahal Akibat Oknum Kepsek Salah Artikan UU Sisdiknas

Post date: 05/08/2012 - 21:27
REPORTER: g EDITOR: mdika

Serang – Adanya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Buku Sekolah Elektronik (BSE) sudah sangat membantu masyarakat untuk bisa menyekolahkan anaknya tanpa mengeluarkan biaya atau gratis. Namun sayangnya, konsep penggratisan Pendidikan Dasar yang sudah bagus itu, dikotori oleh oknum kepala sekolah (Kepsek) dan guru, yang salah mengartikan dan menerapkan pasal-pasal yang ada di Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Hal tersebut muncul dari hasil diskusi mingguan, Gerakan Orang Tua Peduli Pendidikan (GOTPP) Banten ke 2 dalam rangkaian Gerakan Penjarakan Kepala Sekolah. Diskusi yang bertemakan BOS-Landasan dan Tujuannya ini, dilaksanakan di Kantor mediabanten.com, Jl Raya Petir, Cilaku – Curug, Kota Serang pada tanggal 3 Agustus 2012 selepas taraweh.

Peserta diskusi Oetjoe Gabriel Jauhar mengatakan, Konsep pemerintah sudah benar dengan melaksanakan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Buku Sekolah Elektronik (BSE), sayangnya terlalu banyak oknum-oknum di dunia Pendidikan yang menyalahgunakan dan membelokkan arah program.

“Gerakan ini menguatkan untuk membersihkan oknum-oknum itu dari dunia pendidikan dengan cara pertama memenjarakan Kepala Sekolah-Kepala Sekolah yang terbukti mengkorupsi dana Rencana Anggaran Belanja Sekolah (RABS),” kata Oetjoe Gabriel Jauhar saat memaparkan materi Dasar Hukum dan Semangat BOS.

Menurut dia, BOS dan BSE merupakan implementasi dari Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas. Juga pemenuhan kewajiban orang tua menyekolahkan anaknya dengan ketersediaan sekolah seperti diamanatkan Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 UU yang sama. Namun sayangnya, konsep penggratisan Pendidikan Dasar yang sudah bagus itu juga dikotori oleh pasal-pasal bersayap dan tujuan bermakna ganda.

“Misalnya dalam UU Sisdiknas ada Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 9 tentang kewajiban masyarakat dan warga negara. Pasal-Pasal ini bisa ditafsirkan sebagai kewajiban masyarakat dan warga negara untuk ikut menanggung beban biaya Pendidikan Dasar. Ditambah lagi doktrinisasi dan dogmaisme biaya personal dan non personal. Seragam itu biaya personal. Lalu dibuat banyak jenis seragam hingga 6-7 jenis. Ini namanya sudah nyari-nyari cara untuk melakukan pungutan,” ujar Oetjoe.

Selain itu, adanya pembiasan tujuan BOS itu sendiri. Ditujuan nomor 1 berbunyi BOS membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD dan SMP. Sementara di tujuan nomor 2 berbunyi BOS membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apa pun.

“Akibat tujuan nomor 2 itu, maka kata ‘membebaskan pungutan’ di tujuan nomor 1 menjadi bermakna tidak bebas 100 persen. Yang 100 persen itu hanya orang miskin. Jadi buat yang tidak miskin, masih diperbolehkan pungutan. Bahayanya, pungutan yang diperbolehkan itu tidak diatur secara terang benderang,” ucap Oetjoe.

Sementara Iwan Hermawan yang sering disebut Adung Lee menyimpulkan, di tahun 2012 tidak ada lagi beban buku pelajaran bagi sekolah. “Setiap tahun salah satu kewajiban belanja dana BOS adalah pembelian buku paket untuk perpustakaan, 2 buku pelajaran setiap siswa untuk setiap semesternya. Buku itu dipinjamkan ke siswa dan dikembalikan ke sekolah setiap semester,” kata Adung.

Program BOS sudah berjalan dari tahun 2005. Maka di tahun 2011 jumlah koleksi buku pelajaran di perpustakaan adalah 2 x 7 tahun = 14 mata pelajaran tiap kelasnya. Jumlah sebanyak siswa sekolah itu. Jadi tahun ini siswa tinggal meminjam ke sekolahan, tidak perlu beli buku paket.

Hal ini sesuai dengan perubahaan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) BOS untuk poin pertama, dari kewajiban membeli 2 buku pelajaran menjadi pembelian/penggandaan buku pelajaran karena rusak atau kekurangan. “Mendampingi kebijakan ini, pemerintah pun sudah melaksanakan program BSE. Yaitu penyediaan buku-buku berharga murah, bahkan gratis untuk dikopi, diprint dan tidak ada persoalan untuk dibagikan. Hak ciptanya sudah dibeli pemerintah,” ujar Adung.

Sayangnya, seperti ada kesepakatan bersama, oknum-oknum mulai dari sekolah hingga kementerian pura-pura, bahkan seperti dengan sengaja menyembunyikan tujuan program BSE. Dan tetap memberlakukan beli buku dari penerbit. Sekarang istilahnya beli buku berlabel KTSP. “Buat kami, KTSP itu singkatan dari Kartu Tanda Setan-setan Pendidikan,” katanya.

Peserta lainya, Purwo Rubiono, pembawa materi SMA/SMK dan RSBI mengatakan keanehan target pendidikan bagi pemerintah. “Kenapa pemerintah hanya menargetkan gratis pendidikan dasar? Padahal dari sebelum reformasi saja, ijazah pendidikan dasar sudah tidak laku untuk dipakai melamar pekerjaan. Paling-paling sebatas office boy, penjaga toko dan cleaning service. Apakah pemerintah Indonesia hanya berani bermimpi bangsa ini jadi bangsa jongos?,” retorika Purwo.

Diserahkannya pengaturan pembiayaan SMA/SMK ke daerah lewat peraturan/keputusan Bupati/Kota menyebabkan ketidakpastian nilai beban pendidikan bagi orang tua. “Beban biaya pendidikan menengah bagi orang tua menjadi tergantung pada kearifan Kepala Daerah. Padahal untuk menjadi kepala daerah sudah dapat dipastikan memerlukan biaya yang sangat tinggi. Jarang ada Kepala Derah yang murni pro rakyat, terlalu sibuk mengembalikan modal pemilihan. Maka tidak aneh kalau pungutan PSB dan daftar ulang jadi jutaan rupiah,” kata Purwo.

Seharusnya nilai pungutan pendidikan menengah yang jadi beban orang tua harus bersandarkan kondisi upah masyarakat umum. Misalkan saja bersandarkan pada Upah Minimum Kab/Kota (UMK). “Besarnya pungutan itu tidak boleh mengganggu biaya hidup pemilik upah. Misalkan UMK Rp1,5 juta. Lalu kita hitung belanja kelangsungan hidup seperti makan, minum, transport sekolah, transport kerja, misalkan ketemu angka Rp1 juta. Maka besarnya pungutan maksimal Rp500 ribu saja. Ini yang terjadi besarnya pungutan melebihi UMK. Ada yang Rp3,5 juta, ada yang 3 juta. Daftar ulang saja Rp2 juta. Mau makan apa masyarakat?,” jelas Purwo.

Sementara soal RSBI, Purwo menegaskan dibubarkan saja. Ada 2 persoalan utama, yaitu ketidakadilan dan ketidakjelasan konsep RSBI. “Tanahnya dari pemerintah, bangunannya, bangkunya dari pemerintah. Guru-gurunya digaji pemerintah. Semua sarana dan fasilitas dibiayai dari uang negara. Uang rakyat. Uang seluruh rakyat Indonesia termasuk di dalamnya uang orang-orang miskin. Tapi tidak semua orang Indonesia berhak sekolah di sana, gara-gara tidak punya uang yang cukup. Ini namanya ketidakadilan dalam mendapatkan pendidikan yang bermutu,” kata Purwo.

Pemerintah memang sudah mengeluarkan klausal pengecualian pungutan bagi siswa miskin. Tapi bagaimana dengan siswa yang tidak berkategori miskin dan belum masuk kategori kaya. “Contoh sederhananya saya saja. Saya tidak bisa dibilang miskin, karena masih punya tempat tinggal, punya kendaraan dan penghasilan sebulannya masih lebih dari UMK. Tapi untuk membayar uang masuk yang katanya Rp15 juta dan SPP Rp350 ribu per bulan, tentu saya tidak mampu. Dibilang saya miskin? Tentu saja tidak, karena masih banyak yang miskin di bawah saya,” ujar Purwo.

Ketidakadilan lainnya adalah materi tes masuk. Materinya berdasarkan ilmu pengetahuan. Siswa miskin karena kemiskinan sangat terkendala mendapatkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Sementara orang kaya mempunyai akses yang demikian luas terhadap ilmu pengetahuan.

“Ini sama saja menyuruh mobil dan becak bertarung adu kecepatan. Sudah dapat dipastikan siapa yang menang. Seharusnya tes masuk RSBI bersandarkan IQ saja. Karena IQ terlepas dari pengetahuan yang dimiliki seseorang,” saran Purwo.

Selain ketidakadilan itu, ketidakjelasan konsep RSBI menjadi perhatian. Internasional yang melekat pada singkatan RSBI menjadi pertanyaan, standar internasional seperti apa yang dijadikan acuan?

“Di dunia ini belum ada Dewan Pendidikan Internasional yang menstandarkan pendidikan di seluruh negara. Masing-masing negara punya standar pendidikan sendiri. Standar Amerika berbeda dengan standar Inggris. Begitu pula Prancis dan Jerman berbeda. Termasuk Timor Leste, Nigeria, Myanmar, Pilipina, Singapura punya standar pendidikan masing-masing. Nah RSBI karena Internasionalnya, mengacu ke standar negara mana? Apakah standar pendidikan Timor Leste atau Nigeria? Mereka juga internasional loh, karena bukan nasional. Nasional itu Indonesia,” retorika Purwo Rubiono.

Diskusi bertemakan Penjarakan Kepala Sekolah yang dimulai setelah tarawih ini, berakhir sebelum sahur. Dan akan dilanjutkan pada tanggal 10 Agustus 2012 dengan sub tema “Mekanisme Pengumpulan Data, Keterangan dan Barang Bukti”. (g)

Sumber/copy from http://mediabanten.com/content/sekolah-mahal-akibat-oknum-kepsek-salah-artikan-uu-sisdiknas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar